Pages

Thursday, April 26, 2012

Sungguh, Wanita Hitam itu Lebih Baik

Pernahkah anda berpikir sejenak, apa yang telah anda raih di dunia? Keluarga, pendidikan, karier, status sosial, ketenaran.... Saya, dan barangkali juga anda saudariku Muslimah, mungkin terjebak dalam lingkaran itu. Yang bernilai di mata kita adalah harta, dan berbagai perhiasan dunia. Yang mempesona hati kita adalah karier yang terus menanjak, status sosial yang tinggi, yang membanggakan bagi kita adalah pendidikan tinggi, dan lebih bangga lagi jika itu pendidikan luar negeri, yang menggembirakan hati kita adalah anak-anak yang berhasil dalam pendidikan dan hidup mereka serba kecukupan. Bercerita tentang keberhasilan kita dalam kehidupan duniam, kita menjadi berapi-api.

Sebaliknya, mempertahankan rasa malu bagi kita bukan sesuatu yang membanggakan. Sangat sedikit di kalangan kaum Muslimah yang bangga dengan status yang disandangnya sebagai wanita Muslimah, yang ditunjukkan dengan identitasnya, lebih khusus lagi dengan pakaiannya. Sangat sedikit di antara kita yang rela menyelisihi sebagian besar wanita untuk berhias, dan menutup tubuhnya rapat-rapat dari pandangan orang lain. Dan di antara yang sedikit itu, lebih sedikit lagi yang bersungguh-sungguh dalam mengenakan hijabnya karena berharap ridha Rabb-nya.

Kisah berikut ini mungkin bisa menjadi pelajaran bagi kita, saya dan anda, bahwa seluruh nikmat yang telah kita raih, keberhasilan yang kita capai sangat tidak berarti apa-apa, dibandingkan dengan seorang wanita hitam yang datang mengadu kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Dari Atha bin Abi Rabbah: “Telah berkata kepadaku Abdullah bin Abbas: “Maukah engkau aku perlihatkan seorang wanita penghuni surga?” maka aku berkata : “tentu!”. Kemudian ‘Abdullah berkata: “Wanita hitam dia pernah mendatangi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam lalu ia berkata: “ aku kena penyakit ‘usro’u (ayan/epilepsy), jikalau penyakitku kambuh auratku tersingkap. Maka do’akanlah kepada Allah agar sembuh penyakitku”. Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berkata: “jikalau aku do’akan kepada Allah, pasti kamu akan sembuh. Akan tetapi jikalau kamu sabar maka bagimu surga”. Maka wanita hitam itu berkata: “Ashbiru (aku akan sabar), akan tetapi do’akan kepada Allah agar tiap kali kambuh penyakitku, auratku tidak tersingkap”. Maka Nabi pun mendo’akannya.” (HR Bukhari Muslim)
Seorang wanita hitam yang entah berasal dari mana, dengan penyakit kejang-kejangnya, di zaman sekarang akan menjadi orang yang dipandang sebelah mata. Bahkan mungkin tidak akan dilirik sama sekali. Tapi tidak dengan wanita ini. Sungguh wanita hitam ini lebih baik, bahkan jauh lebih baik dan lebih mulia dari wanita manapun yang mengaku paling bahagia di zaman sekarang ini.

Dalam muhadharahnya mengenai Kisah Wanita Penghuni Surga, Syaikh Abdur Rozzaq bin Abdul Muhsin al-Badr menjelaskan, bahwa wanita hitam ini memiliki iman dan ketulusan dalam imannya, agamanya kuat serta memiliki rasa malu yang sangat tinggi. Akan tetapi dia diuji oleh Allah dengan ditimpa penyakir usra’u yang menyebakannya pingsan dan kejang-kejang yang membuatnya sedih dan mengganggunya. Maka wanita ini pun datang kepada Nabi shallallahu alaihi waswallam agar berdoa kepada Allah, agar Allah subhanahu wa ta’ala menyembuhkan penyakitnya dan menghilangkan kegelisahan yang dialaminya selama ini. Akan tetapi Nabi shallallahu alaihi wasallam mengarahkan wanita ini akan sesuatu yang lebih baik dari kesembuhan, yaitu jika sang wanita tersebut sabar dengan ujian yang dihadapinya maka dia akan mendapatkan surga dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Tatkala mendengar arahan dari Nabi maka wanita ini pun memilih untuk bersabar agar dia dapat meraih surga, agar dia dapat memperoleh kesudahan yang sangat indah, dan dia akan mendapatkan surga dengan jaminan Nabi shallallahu alaihi wasallam jika dia bersabar. Maka dia pun bersabar dengan penyakit yang dia rasakan. Akan tetapi dia mengeluhkan kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang perihal yang dialaminya tatkala dia sedang pingsan, yakni terbukanya sebagian auratnya. Padahal wanita ini tatkala sedang pingsan, dia mendapatkan uzur karena dia sedang sakit, dia tidak dapat melakukan apa-apa dan itu diluar kehendak dia. Akan tetapi karena kuatnya imannya dan rasa malunya yang sangat tinggi dan sucinya hatinya, maka kondisi yang seperti ini membuat dia gelisah. Oleh karenanya wanita ini pun meminta kepada Nabi dan mengabarkan kepada Nabi shallallahu alaihi waswallam tentang perihalnya dan berkata: “إِنِّي أَتَكَشَّفُ Maknanya, setiap kali aku pingsan maka auratku pun tersingkap. Dan ini perakara yang dia tidak bisa bersabar karenanya. Wanita ini bisa bersabar menghadapi penyakit, akan tetapi dia tidak bisa bersabar terhadap sebagaian anggota tubuhnya yang tersingkap ketika penyakitnya kambuh. Karenanya dia meminta kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam agar Allah menutup auratnya tatkala dia sedang pingsan. Maka Nabi pun mendoakan wanita ini, sehingga Allah subhanahu wa ta'ala tetap menjaga auratnya ketika dia pingsan, karena doa Nabi shallallahu alaihi waswallam.

Kisah wanita ini kisah yang sangat agung dan sangat menakjubkan, menjelaskan akhlak yang mulia dan sifat-sifat yang indah yang dimiliki wanita ini, rasa malu dan bersihnya hatinya. Perhatikanlah wanita ini berkata: “Wahai Raulullah sesungguhnya aku (ketika penyakitku kambuh) terbuka sebagian auratku, berdoalah kepada Allah agar tertutup auratku.” Padahal terbukanya sebagian anggota tubuhnya ini diluar kehendaknya, karena dia sedang tidak sadar. Akan tetapi meskipun dia tidak sadar dan mendapat uzur dari Allah, hal ini membuat dia menjadi gundah gulana, membuatnya gelisah. Jika penyakit yang menimpanya, dia masih bersabar. Akan tetapi kondisi yang tebuka aurtanya, dia tidak bersabar, dan mengadukan kepada Nabi shallallahu alaihi waswallam.

Lalu bagaimana dengan keadaan sebagian wanita saat ini? Yang dengan sengaja menampakkan keelokan tubuhnya? Sengaja memperlihatkan bagian tubuhnya yang memfitnah para lelaki. Dengan sadar bahkan dengan sengaja dan tidak perduli, tidak ada rasa malu dan tidak ada rasa iman. Bukankah banyak wanita yang telah mendengarkan firman-firman Allah subhanahu wa ta’ala, dan telah mendengarkan hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang larangan untuk bertabarruj dan memamerkan aurat. Bukankah telah banyak ancaman dari Allah dan Rasulullah shallallahu alaihi waswallam tentang wanita yang menampakkan aurat dengan sengaja. Akan tetapi para wanita tersbut tetap tidak perduli dengan larangan-larangan Allah dan Rasul-Nya dan tetap menampakkan keindahan tubuhnya.

Sungguh, wanita hitam ini lebih baik, bahkan jauh lebih baik dari siapapun di antara kita. Jika dia malu dan tidak ridha auratnya tersingkap manakala dia tidak sadar, sebagian wanita di zaman sekarang justru dengan sadar dan tanpa rasa malu menyingkap auratnya padahal dia tahu akan kewajiban menutup aurat. Ketika dia gelisah dan tak dapat bersabar atas auratnya yang tersingkap, sebagian kita justru lebih sabar menghadapi tatapn ‘penuh makna’ secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi dan siulan laki-laki di pinggir jalan karena pakaiannya yang mempertontonkan auratnya dan menampilkan keindahan tubuhnya.

Ya, dengan alasan dunia sebagian muslimah zaman sekarang menanggalkan rasa malu jauh di belakang. Menganggap hijab hanya akan menghalangi langkah dalam meniti karier, menghambatnya meraih pendidikan dengan gelar tertinggi, menghalanginya dari pergaulan, kemajuan dan gemerlapnya hidup. Jika wanita hitam ini memiliki penyakit jasmani, maka kita memiliki penyakit yang lebih berbahaya, lemahnya iman dan hilangnya rasa malu.

Sebagian kita tidak punya rasa malu! Keliru, mungkin punya rasa malu, tapi rasa malu itu diletakkan di tempat yang salah! Sebagian wanita malu mengenakan hijab syar’i karena anggapan ketinggalan zaman, kuno, fanatik, dan terlihat menyedihkan seperti perempuan dalam kurungan. Sebaliknya mereka tidak malu ketika menampakkan sebagian anggota tubuh, berlenggak-lenggok dengan pakaian ketat yang seolah hendak melontarkan bagian-bagian tubuh yang ada di baliknya, menjadikan dirinya obyek yang bisa dilihat oleh siapa saja yang menghendaki. Bahkan jilbab pun dimodifikasi agar dapat tetap mempertontonkan keindahan tubuh seorang wanita.

Sungguh wanita hitam ini jauh lebih baik. Dia bukanlah wanita dengan sederet gelar di belakang namanya, bukan pula wanita dengan status sosial yang tinggi di masyarakat, bukan pula wanita karier yang sukses. Akan tetapi yang dimilikinya jauh lebih berharga, jauh lebih bernilai dari semua itu. Dia punya iman! Dia punya kesucian hati! Dia punya rasa malu! Dia lebih memilih bersabar dari penyaktinya dan hanya meminta didoakan agar auratnya tidak terlihat ketika penyaktinya kambuh. Sebuah pilihan yang membuahkan surga. Sedangkan kita...?? Sebagian kita, ketika dibacakan hadits tentang dua golongan penghuni neraka dan merka tidak akan mencium bau surga - yang salah satunya adalah wanita yang berpakaian tapi telanjang – hanya mendengarkan dengan roman tak perduli. Dengan sadar memilih bermaksiat terang-terangan dengan mengumbar aurat, yang telah jelas mendapat ancaman neraka. Lalu bagaiman kita bisa berharap sampai pada kedudukan wanita hitam ini? Bagaimana kita berharap mendapatkan ampunan dari Allah sedangkan Rasulullah telah bersabda:

“Setiap ummatku dimaafkan kecuali mereka yang terang-terangan” (HR Bukhari)

Kita bukanlah apa-apa. Kita hanya meraih sedikit dari limpahan nikmat yang Allah Ta’ala tebarkan di muka bumi. Celakanya, kita hampir tidak memiliki bagian apa-apa dari kenikmatan surga yang jauh lebih besar dan abadi. Kita tidak punya keimanan dan rasa malu seperti yang dimiliki wanita hitam itu. Kita tidak mendapatkan jaminan surga seperti wanita hitam itu, dan usaha yang kita lakukan untuk meraih surga pun sangat kecil dan tidak berarti apa-apa, sangat tidak sebanding dengan usaha kita mendapatkan dunia.

Karenanya untuk diriku, dan untukmu saudariku Muslimah, mari bercermin dari wanita hitam ini, belajar dari keteguhan iman seorang wanita hitam yang sederhana ini, dari kesucian hati dan rasa malu yang dimilikinya, keinginannya untuk tetap menjaga auratnya, menjaga kehormatannya dalam keadaan apapun, demi mengharap ridha Rabbnya. Sungguh, wanita hitam ini lebih baik, bahkan jauh lebih mulia daripada kita.


http://www.khayla.net/2011/09/sungguh-wanita-hitam-itu-lebih-baik.html

Friday, April 6, 2012

Kaidah-kaidah Global dalam Fikih

  1.  Segala sesuatu tergantung maksud dan tujuannya.
  2. Asal dari perkataan itu merujuk pada makna sebenarnya (denotasi). Kalau makna denotasi sulit diartikan, baru merujuk makna konotasi.
  3. Keyakinan itu tidak bisa hilang oleh keragu-raguan.
  4. Asal sesuatu itu terlepas dari beban. Manusia pada dasarnya tidak punya kewajiban apapun terhadap orang lain lain, kecuali orang lain bisa membuktikan kewajibannya. ex. hutang
  5. Tidak boleh memadharatkan/ menyulitkan orang lain dan diri sendiri. ex. merokok.
  6. Kemadharatan yang lebih besar dihilangkan oleh kemadharatan yang lebih ringan.
  7. Hukum itu berdasarkan keghalibannya (kelumrahannya), bukan atas kejarangannya. ex. ulama mengatakan -biasanya orang baligh pada usia 15 tahun-. maka kalau ada yang baligh lebih dari 15 tahun, tidak serta merta mengubah hukum.
  8. Semua keuntungan itu disertai resiko kerugian. Nah, kenapa riba diharamkan? karena untungnya tidak disertai kerugian.

-catatan ma'had 24 Nov 08-
Pengantar fiqh.
disampaikan ust. ilyas

dari sini

Konsekuensi Penghambaan

Yusuf Qardhawi : prinsip kedua tentang hukum halal dan haram adalah penghalalan dan pengharaman hanyalah wewenang Allah. Manusia tidak berhak membantah atau melanggar. Itu adalah hak rububiyah Allah sekaligus konsekuensi penghambaan kepada-Nya. Meskipun demikian, sebagai wujud dari rahmat-Nya, maka dijadikan halal dan haram itu karena alasan yang masuk akal, jelas, dan kuat demi kemaslahatan manusia itu sendiri. artinya, yang dihalalkan Allah pasti baik dan yang diharamkan pasti buruk.

"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah" QS Al- Hasyr 7

Dalam kaidah ushuul fiqh : pola 'larangan' (an-nahyu) itu menyebabkan (sesuatu hal) itu dihukumi sebagai hal yang haram. otomatis kaidah ini juga berlaku untuk pola 'perintah'. dalam ayat diatas kata 'terimalah' berpola perintah, dan 'tinggalkanlah' berpola larangan.

( apakah kata 'hendaknya' itu juga termasuk pola 'perintah' yang artinya dihukumi wajib?)

Kalau memang suatu perkara itu dihukumi wajib atau suatu perkara itu dilarang, maka manusia memang harus melakukannya atau meninggalkannya tanpa reserve, meskipun tidak tahu manfaat dan mudharatnya. Dahulu, orang Islam hanya memahami alasan pengharaman babi karena kotor dan menjijikkan. Seiring perkembangan zaman, ilmu pengetahuan berhasil mengungkap bahwa dalam daging babi terdapat cacing pita. Nah, berubah dong alasan pengharamannya? karena perkembangan zaman lagi, bukan tidak mungkin daging ini bisa dibersihkan dari cacing. Nah, apakah serta merta babi jadi halal? enggak kan?

Kesimpulannya, syariat diturunkan untuk menguji ketaatan hamba.. dan tidak selamanya hamba harus mengetahui manfaat atau mudharatnya.

referensi:
Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam
Mochamad Ilyas, Lc., MA. , Diktat ringkasan Ushul Fiqh
diambil dari sini

 
Powered by Blogger